CAHAYA ITU BERNAMA KARTINI
Langit sore mulai terlihat di atas sekolah. Angin berhembus pelan membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di pojok perpustakaan, di sanalah aku duduk di depan layar laptop yang menampilkan tema lomba hari pahlawan:
“Pahlawanku.”
Kata yang terlihat sangat sederhana, tapi terasa berat bagiku. Pahlawan.... siapa yang pantas disebut pahlawan di zaman sekarang?
Dipikiranku penuh dengan nama-nama besar seperti Soekarno, Pattimura, Pangeran Diponegoro, dan Jenderal Sudirman. Tapi entah mengapa, jemariku berhenti di atas keyboard, tak juga mampu untuk mengetik.
Lalu aku memandang di sekeliling rak buku yang berjejeran,tak sengaja pandangan mataku terhenti pada rak kayu tua di sisi ruangan. Di rak tua itu banyak sekali buku sejarah yang sudah lusuh. Kemudian aku mengambil satu buku yang berwarna kuning kecokelatan. Tulisan di sampulnya samar, tetapi masih terbaca:
“Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Itulah judul buku tua itu. Pada detik itu juga, seolah-olah udara di sekitar menjadi lebih tenang. Aku merasakan seperti halaman buku itu berbisik lembut, memanggilku untuk masuk ke masa yang jauh.
Jemariku mulai membuka halaman pertama. Surat-surat itu mengalir seperti air, jujur, lembut, tapi deras akan maknanya.
“Aku ingin perempuan dapat berlajar, agar mereka tidak lagi hidup dalam kebodohan dan ketakutan.”
Aku membaca kalimat itu berulang-ulang.
Tiba-tiba pikiranku melayang jauh. Bayangan seorang perempuan muda dengan kebaya putih muncul di benakku. Matanya tajam, tetapi sorotnya teduh. Ia duduk di meja kayu, menulis di bawah cahaya lampu minyak.
Di sekeliling sunyi. Tak terdengar satu suara pun. Namun, dari sunyi itu lahirlah suara yang menggentarkan zaman.
“Aku menulis, karena hanya ini yang bisa kulakukan untuk melawan.”
Aku hampir bisa mendengarnya berbicara.
Kartini, perempuan yang berani melawan gelap dengan pena dan pikirannya.
Hari berikutnya, aku mulai menulis perlahan di laptopku. Kata demi kata mengalir, meski tidak mudah. Aku bukan menulis tentang perang, bukan tentang darah dan senjata. Aku menulis tentang keberanian yang sunyi. Bagiku, pahlawan bukan hanya yang mengangkat senjata, tetapi mereka yang diam-diam menulis tanpa suara, namun mampu merubah kehidupan.
Di sela mengetik, aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi Kartini pada masa itu. Terlahir dalam adat yang membatasi langkah, dipaksa tinggal di rumah, dilarang sekolah lebih tinggi hanya karena ia seorang perempuan.
Namun di tengah keterbatasan itu, ia tidak menyerah. Ia menulis surat, menyusun pikiran, dan menyalakan harapan.
Tak terasa malam pun tiba. Malam yang menegangkan bagiku. Karena dalam tidurku, aku bermimpi. Dimana aku berdiri di sebuah ruangan gelap dengan satu lampu redup yang menyala di atas meja kayu. Di sana, aku melihat seorang perempuan duduk dengan wajah lembut, mengenakan kebaya putih. Ia tersenyum padaku.
“Apakah kau datang dari masa depan wahai anak muda?” tanyanya pelan.
“Iya,” jawabku gugup. “Aku membaca tulisanmu.”
“Lalu, apakah semua perempuan di sana sudah merdeka?
Pertanyaan itu langsung membuatku terdiam
“Kenapa kamu diam? Apakah ketakutan aku selama ini benar, bahwasanya belum semua perempuan benar-benar merdeka?” tanyanya lagi
Aku hanya bisa mengangguk lemah
“Banyak perempuan yang masih takut untuk bersuara. Banyak yang memilih diam karena dunia tidak memberi ruang untuk mereka menyuarakan pendapat.” Ucapku pelan.
Kartini mulai menatapku lebih dalam.
“Apa kau juga termasuk?” tanyanya lembut.
Mau tidak mau aku harus mengakuinya.
“Iya,” bisikku pelan.
Kartini hanya tersenyum mendengar jawabanku. Seolah-olah mengetahui apa yang sedang aku rasakan.
“Kau tidak perlu takut. Ketakutan di dalam dirimu itu tidak akan pernah menang jika kau menumbuhkan rasa keyakinan dan percaya diri yang kuat.” Ucap Kartini.
Lalu Kartini menatapku dengan lembut.
“kekuatan itu bukan tentang tidak takut. Tapi kekuatan itu adalah tetap menulis walau tangan gemetar. Teruslah menulis, karena menulis adalah cara paling halus untuk melawan.”
Secara perlahan cahayanya memudar, dan Kartini ikut menghilang mengikuti pudaran tersebut. Lalu, aku terbangun dengan dada yang berdebar. Mimpi itu terasa begitu nyata bahkan terlalu nyata untuk sekadar bunga tidur.
Di hari berikutnya, aku tidak menemui siapa pun. Aku masih berkelana dalam pikiranku sendiri, memikirkan mimpi malam tadi. Aku duduk sendirian di taman dengan laptop terbuka dan naskah cerpen yang belum selesai. Aku menatap naskah itu. Nama Kartini terpampang jelas di sana. Entah mengapa, ada perasaan aneh dalam dada seperti aku sedang berbicara dengannya, bukan sekadar menulis tentangnya.
Aku bertanya dalam hati,”Kenapa aku merasa begitu terikat dengan kisah perempuan ini?”
Lalu aku menemukan jawabannya. Aku sama seperti dia. Aku juga pernah takut bersuara, takut salah, takut dinilai, takut dianggap terlalu berani hanya karena punya pendapat sendiri.
Semakin aku membaca surat-surat Kartini, semakin aku sadar bahwa ia menulis bukan karena ingin dikenal. Ia menulis karena jika ia diam, ia akan kehilangan dirinya sendiri.
Seminggu kemudian, sekolah mengadakan upacara memperingati Hari Pahlawan. Langit tampak cerah bewarna biru muda. Bendera Merah Putih berkibar perlahan di tiang tinggi, dan lagu kebangsaan menggema di udara.
Aku berdiri di barisan siswa lainnya. Entah mengapa, saat bendera itu naik, aku merasa ada yang berbeda. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Aku menunduk pelan, membayangkan sosok perempuan muda yang menulis surat di ruangan sempit, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Ia tak tahu bahwa tulisannya kelak menjadi pelita bagi generasi berikutnya. Ia tak tahu bahwa berkat tulisannya, perempuan diberi ruang: berdiri di podium, sekolah, kuliah, duduk di kursi parlemen, dan berada di mana pun yang mereka inginkan.
Setelah upacara, aku kembali ke perpustakaan. Suasana lengang. Hanya terdengar bunyi jam dinding yang berdetak pelan dan suara lembut penjaga perpustakaan yang menata buku. Aku berjalan ke rak yang sama yaitu rak tua itu.
Buku itu masih di sana. Aku mengusap sampulnya perlahan, lalu membukanya lagi pada halaman yang dulu kubaca. Tulisan itu masih sama, tetapi kali ini terasa berbeda. Dulu aku membacanya sebagai sejarah, sekarang aku membacanya sebagai kehidupan.
Aku teringat wajah-wajah perempuan di sekitarku: Ibu kantin yang selalu datang paling pagi, kakak kelas yang kuliah sambil bekerja demi keluarganya, adikku yang diam-diam menabung agar bisa melanjutkan sekolah.
Mereka mungkin tidak dikenal banyak orang, tidak disebut dalam buku sejarah, tetapi bukankah mereka juga pahlawan dalam bentuk lain?
Aku menarik napas panjang. Kartini menulis dari ruang sempitnya di Jepara, dan aku menulis dari ruang sunyi perpustakaan ini. Jarak waktu kami berabad-abad, tetapi rasanya kami duduk di meja yang sama. Kebebasan berpikir, keberanian bermimpi, dan keinginan sederhana untuk membuat dunia sedikit lebih adil.
Aku duduk di meja paling ujung, tempat yang entah mengapa terasa sangat nyaman. Aku membuka laptopku dan membaca kembali tulisan yang sempat kuketik.
Dan di situ aku tahu, aku menulis bukan sekadar untuk lomba. Aku menulis tentang hidup, tentang keberanian kecil yang mungkin bisa menjadi nyala bagi orang lain.
Aku menambahkan kalimat di akhir naskah:
“Mungkin zaman telah berubah. Tapi perjuangan untuk memahami diri sendiri, untuk berani bersuara, tak akan pernah usang. Selama masih ada perempuan yang taku bicara, Kartini tetap hidup dalam setiap kata yang belum sempat diucapkan.”
Aku memejamkan mata. Dalam hati aku berbisik,
Terima kasih, Kartini. Karena dalam gelapmu, kami berlajar menemukan terang kami sendiri.
“Habis gelap terbitlah terang.”
Ternyata bukan sekadar kalimat, tetapi doa yang menjelma kenyataan. Dari situ juga aku belajar bahwa perjuangan terbesar bukan melawan orang lain, tetapi melawan keraguan dalam diri.
Tenanglah, Kartini. Sekarang kau tidak lagi sendiri. Kami akan selalu ada.
Aku tersenyum kecil. Mungkin inilah yang disebut cahaya dari gelap, bukan kilau mencolok, tetapi nyala kecil yang menenangkan.
Cahaya itu, bahkan setelah ratusan tahun, masih menerangi langkahku. Dan cahaya itu... masih bernama Kartini.
Karya : Dita Ristiani
Kelas: XII 5
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
PERTANDINGAN ANTAR KELAS DALAM RANGKA BULAN BAHASA TAHUN 2025
Dalam rangka memeriahkan Bulan Bahasa, OSIS SMA Negeri 1 Bukit Batu menyelenggarakan pertandingan cipta cerpen antar kelas dengan mengusung tema “Berkebhinekaan dan Pahlawanku&rdq
Pertandingan Antar Kelas dalam Rangka Hari Pahlawan
Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, OSIS SMA Negeri 1 Bukit Batu mengadakan pertandingan Short Movie antar kelas sebagai bentuk kreativitas siswa dalam meneladani semangat perjuang
PELANGI DI TELUK ARU
Angin laut bertiup pelan ketika mentari pagi merayap naik dari balik cakrawala. Di sebuah kampung kecil di pesisir Teluk Aru, Sumatra Timur, seorang remaja bernama Nadra berdiri di derm
PUTIH : DESTINASI TERAKHIR KERETA PARA PENJAGA INDONESIA
Malam tiba dengan perlahan di kota kecil itu, bak tirai hitam yang ditarik oleh angin menuju langit. Di malam gelap itu, hujan turun layaknya benang-benang tipis. Theo berjalan tanpa ar
STRUKTUR OSIS SMA NEGERI 1 BUKIT BATU PERIODE 2025-2026
Pelindung / Penasehat : Luqman Hakim, M.Pd (Kepala SMAN 1 Bukit Batu) Penanggung jawab : Rais Triono, S.Pd (Wakil Kesiswaan) Pengurus Harian &n
Pemilihan Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS Periode 2025-2026
Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS SMA Negeri 1 Bukit Batu merupakan salah satu agenda penting dalam rangka regenerasi kepemimpinan di lingkungan sekolah. Kegiatan ini menjadi wadah p
